Sabtu, 24 April 2010

Posted by ERINUS MOSIP, S.P Posted on 18.24 |

Pengelolahan Lahan Kering

OLEH : ERINUS MOSIP (08-1047) VS TRI AGUSTININGSIH (08-1044)

TEMA : Pengelolahan Lahan Kering

Tujuan :

ü Mengetahui Penyebab utama Lahan kering.

ü Dapat mengetahui cara yang tepat untuk mengatasi lahan kering

SOLUSI : pengairan dengan sistem irigasi tetes

KONDISI SAAT INI : Tidak Produktif

Pembangunan sektor pertanian dewasa ini diarahkan untuk menuju pertanian yang efisien dantangguh, mengingat kebutuhan hasil-hasil pertanian yangterus meningkat sejalan dengan meningkatnya jumlah penduduk. Pertanian lahan kering merupakan kegiatan budidaya yang banyak menglami hambatan. Salah satu faktor penghambatnya adalah terbatasnya air. Kepas (1988) menyatakan bahwa, lahan kering merupakan sebidang tanah yang dapat dapat digunakan untuk usaha pertanian dengan menggunakan air secara terbatas dan biasanya hanya mengharapkan dari curah hujan. Lebih lanjut Suarna (1990) mengemukakan bahwa lahan kering dengan hanya 4-5 bulan basah dikategorikan cukup riskan untuk pengembangan palawija maupun untuk hortikultura.

Keberhasilan peningkatan produksi tanaman hortikultura di Indonesia tidak terlepas dari peran irigasi yang merupakan salah satu faktor produksi penting. Usaha untuk mencapai target produksi di satu sisi, dan teknologi tepat dan murah di sisi lain telah mendorong penggunaan air secara berlebihan tanpa mempertimbangkan efisiensi penggunaan sumber daya yang tersedia. Teknologi di bidang irigasi merupakan salah satu faktor penentu dalam upaya meningkatkan produksi pertanian, khususnya pada pertanian lahan kering. Oleh karena itu, sejalan dengan perkembangan dan kemajuan di bidang irigasi, maka teknologi irigasi yang umum dilakukan oleh petani perlu disempurnakan berdasarkan penelitian dan pengkajian yang terbaru.

Irigasi tetes (Drip Irrigation) merupakan salah satu teknologi mutakhir dalam bidang irigasi yang telah berkembang hampir di seluruh dunia. Teknologi ini mula pertama diperkenalkan di Israel, dan kemudian menyebar hampir ke seluruh pelosok penjuru dunia. Pada hakekatnya teknologi ini sangat cocok diterapkan pada kondisi lahan kering berpasir, air yang sangat terbatas, iklim yang kering dan komoditas yang diusahakan mempunyai nilai ekonomi yang tinggi (Bucks et al., 1982). Namun tidak bisa dipungkiri bahwa teknologi ini mempunyai beberapa kelemahan, diantaranya diperlukan investasi yang cukup besar pada tahap awal, pemeliharaan jaringan irigasi yang sangat intensif serta hambatan-hambatan lain seperti penyumbatan (clogging) pada lubang-lubang tetes (emitter).

Hasil penelitian menunjukkan bahwa irigasi tetes telah mampu meningkatkan hasil-hasil pertanian secara nyata dan menghemat pemakaian air antara 50 – 70 % (Menzel, 1988 :Partasarathy, 1988). Pada tanaman sayuran seperti selada (lettuce) dengan irigasi tetes ternyata mampu meningkatkan kualitas hasil dan dapat menghemat air irigasi sampai 50 % dibandingkan dengan irigasi secara konvensional (Merit, 1987; Sutton & Merit, 1993). Selanjutnya hasil penelitian pada tanaman sayuran yang lain diperoleh kecenderungan yang sama.

Misalnya Sanders et al., 1988 melaporkan bahwa produksi melon, lombok dan tomat meningkat dengan nyata bila dibandingkan dengan irigasi penggenangan (flooded) yang sangat boros air. Merit (1990) melaporkan bahwa irigasi tetes pada tanaman tomat memberikan keuntungan yang sangat nyata dimana disamping efisiensi penggunaan air dapat ditingkatkan, kualitas hasil tomat ternyata juga meningkat. Pada tanaman hortikultura jeruk, Grieve (1988) melaporkan bahwa dengan irigasi tetes produksi jeruk meningkat antara 30– 40 % dan air irigasi dapat dihemat sampai lebih dari 50 %. Kecenderungan yang sama juga dilaporkan oleh Chalmers (1988) bahwa kesinambungan produksi buah peach dan pear dapat dipertahankan dengan mengatur defisit air di dalam tanah melalui irigasi tetes.

INOVASI

Di samping memperbaiki teknologi irigasi maka untuk meningkatkan efisiensi pemakaian air, perlu pula dilakukan perbaikan budidaya berupa pemberian pupuk Mineral Plus yang merupakan campuran antara kapur pertanian (Ca) dengan garam Inggris (Mg). Pemberian pupuk Mineral Plus bertujuan untuk menambah ketersediaan unsur hara kalsium (Ca) dan magnesium (Mg). Lanya (2001) mengemukakan bahwa daratan pulau Bali umumnya mempunyai kadar Ca tergolong sedang, dan Mg rendah sampai sedang, kecuali lahan yang tanahnya berasal dari batu gamping atau sisipan batu gamping. Unsur hara Ca sangat esensial dalam pengangkutan asam amino dan protein, sedangkan Mg sangat berperanan dalam pembentukan khlorofil dan juga terlibat dalan reaksi enzimatis. Hasil penelitian yang dilakukan di subak Petangan, Ubung Kaja menunjukkan bahwa pemberian pupuk Mineral Plus dapat meningkatkan hasil dan kualitas buah melon (warna kulit buah, kerenyahan dan kadar gula). Demikian pula hasil penelitian yang dilakukan di Kecamatan Kintamani pada tanaman menunjukkan bahwa penambahan pupuk Mineral Plus (4 ton kapur/ha + 50 kg garam inggris/ha) dapat meningkatkan kadar gula pada buah jeruk. Kabupaten Buleleng merupakan salah satu daerah potensial anggur karena sebagian besar wilayah Buleleng mempunyai zona agroekologi iklim kering yang merupakan salah satu syarat untuk pengembangan agribisnis anggur. Hal ini sesuai dengan arahan pengembangan Bali Barat sebagai sentra hortikultura khususnya tanaman buah-buahan (Perda 4/1996 Prop. Bali) Rukmana (1999) menjelaskan bahwa, faktor iklim yang berpengaruh terhadap pertumbuhan dan produksi anggur meliputi ketinggian tempat yang berhubungan dengan suhu dan kelembaban udara, curah hujan serta sinar matahari. Pada umumnya tanaman anggur dibudidayakan di dataran rendah yang beriklim kering. Selanjutnya ditegaskan lagi bahwa iklim yang optimum untuk pertumbuhan dan produksi anggur adalah pada ketinggian 0 – 300 meter di atas permukaan laut dengan suhu udara antara 25 o – 31 o C, kelembaban udara (RH) 40 % - 80 %, intensitas penyinaran matahari 50 % - 80 %, mempunyai 4 – 7 bulan kering setahun dan curah hujan 800 mm/tahun. Berdasarkan keinginan petani dan ditunjang oleh kondisi iklim di Kecamatan Gerokgak yang mendukung untuk membudidayakan anggur, maka peneliti tertarik untuk meneliti tanaman anggur yang dikaitkan dengan interval pemberian air dan pemberian pupuk Mineral Plus.

Tanaman kekurangan air dapat mengakibatkan kematian, sebaliknya kelebihan air dapat menyebabkan kerusakan pada perakaran tanaman, disebabkan kurangnya udara pada tanah yang tergenang. Menurut Purwowidodo (1983) untuk mengendalikan penguapan air maka penggunaan mulsa merupakan bahan yang potensial untuk mempertahankan suhu, kelembaban tanah, kandungan bahan organik, mengurangi jumlah dan kecepatan aliran permukaan, meningkatkan penyerapan air dan mengendalikan pertumbuhan gulma. Kebutuhan air perlu mendapat perhatian, karena pemberian air yang terlalu banyak akan mengakibatkan padatnya permukaan tanah, terjadinya Erosi ini bila curah hujan tinggi dan penyiraman yang banyak pada musim kemarau.

DAFTAR PUSTAKA

Foth, H.D. 1994. Dasar-dasar Ilmu Tanah. Edisi ke 6. Penerbit Erlangga. Jakarta.

Gardner, F.P.; R.B. Pearce, dan R.L. Mitchell. 1991. Fisiologi Tanaman Budidaya. Universitas Indonesia Press. Jakarta.

Dalam Agrivita Vol.21 No.1 Juli - September 1999. (ISSN 0126-0537).

Jurnal Ilmu Pertanian Fak. Pertanian Unibraw. Malang. Hal. 1-19.

Lakitan, B. 1997. Dasar-dasar Klimatologi. PT. Raja Grafindo Persada Jakarta.

Lamina. 1989. Kedelai dan Perkembangannya. Penebar Swadaya. Jakarta.

Purwowidodo. 1983. Teknologi Mulsa. Dewaruci Press. Jakarta.

Categories: