Kamis, 13 Mei 2010

Yang dimaksud dengan komponen abiotik dari lingkungan adalah iklim dan tanah yang bekerja sendiri atau berinteraksi dalam membatasi pertumbuhan dan penyebaran tanaman. Respon tanaman terhadap salah satu komponen dalam hal ini tidak bebas dari pengaruh komponen lainnya. Sementara lingkungan biotik adalah kelompok makhluk hidup yang menyebabkan penyakit, seperti: Bakteri; menghasilkan toksin yang dapat meracuni tanaman.Virus; melalui RNA yang bersifat toksin
ISI RANGKUMAN
Morfologis
Saat terjadi rendaman total sampai pada bagian daun paling atas, sehingga fotosintesis menjadi terhambat akibat kurangnya karbondioksida ekternal dan adanya semacam naungan (shading). Pada beberapa tanaman adanya etilen membuat stimulasi untuk memanjangkan batang (shoot elongation), seperti pada padi, sehingga dapat melakukan “escape” dari cekaman rendaman. Pierik et al. (2005) membuktikan adanya pola kesamaan respon pemanjangan batang pada A. thaliana antara yang ternaungi tanpa rendaman dengan yang terendam pada tanaman amphibi Rumex palustris.
Salah satu mekanisme tanaman yang biasa hidup dalam keadaan terendam adalam memiliki jaringan aerankim. Seago et al (2005) melaporkan ada sebanyak 85 spesies dan 41 famili memiliki aerankim dengan pola berbeda-beda. Aerenkim merupakan ruangan interselular yang terbentuk dari kombinasi pertumbuhan sel dan pembelahan sel (expansigeny) pada angiospermae primitive, seperti pada Nymphaeales, kemudian pada angiospermae yang lebih maju hanya pada pembelahan sel saja kemudian aerankim dibentuk. Proses masuknya gas dari atmosfer melalui aerenkim sebagian besar terjadi karena difusi, namun demikian aliran masa dapat pula terjadi jikaa alur jalan aerenkima membentuk tahanan yang rendah untuk dapat memasukan gas. Armstrong and Armstrong (2005b) membuktikaan dalam penelitiannya bahwa oksigen dapat diregenerasi pada bagian batang tanaman alder melalui pendaya gunaan karbondioksida oleh sel klorofil. Mommer dan Visser (2005) mengidentifikasi penampilan mengidentifikasi tampilan morfologi daun yang melakukan fotosintesis dibawah air. Penelitian ini menyimpulkan adanya hubungan kecepatan mengabsorbsi karbondiosida berhubungan erat dengan pembentukan lapisan kutikula dan lamina yang semakin menipis. Armstrong and Armstrong (2005a) menggunakan external palarographic oxygen-sensing electrodes yang ditempatkan pada rhizospher untuk mengetahui proses keracunan sulfide pada akar tanaman padi. Mereka mengamati adanya reaksi reduksi dengan cepat terjadi karena berkurangnya oksigen di sekitar akar, sehingga mengakibatkan tekanan terhadap pemanjangan akar dan kemampuan mengambil air. Pada kondisi ini berlanjut sampai berhari-hari sulfide akan mengancurkan akar diikuti dengan tumbuhnya akar lateral. Sulfida juga dapat menghalangi aerankim dan jaringan pembuluh tanaman. Kekurangan oksigen pada akar juga disebabkan oleh nitrate yang dibebaskan dari bahan organik menghalangi oksigen untuk diserap oleh akar (Kirk and Kronzucker, 2005)
Fisiologis
Tanah yang terendam air merupakan cekaman abiotik yang mempengaruhi komposisi spesies dan produktifitas pada berbagai tanaman. Pada tanaman padi misalnya, rendaman dimanipulasi sedemikian rupa untuk mendapatkan hasil yang maksimal, namun pada beberapa spesies tanaman kelebihan air merupakan faktor penghambat produksi pada beberapa tempat dan situasi (Jackson, 2004), banjir terutama berpengaruh terhadap hasil biji (Setter and Waters, 2003). Hambatan utama yang disebabkan adanya rendaman pada spesies yang tidak bisa beradaptasi terhadap kekurangan oksigen adalah karena difusi oksigen di air lebih lambat 104 dibanding dengan di udara (Armstrong and Drew, 2002). Hal lainnya adalah adanya perubahan level hormone etilen dan beberapa produk dan beberapa produkmetabolisme anaerobic oleh mikroorganisme tanah seperti Mn 2+, Fe 2+, S 2_ H2S dan asam karbolat (Jackson and Colmer 2005). Lebih lanjut jika tanaman terendam secara total akan mengakibatkan kekurangan karbondioksida, cahaya, dan oksigen sehingga dapat mengakibatkan kematian tanaman (Jackson and Ram, 2003).
Namun demikian ada beberapa tanaman yang memiliki kemampuan adaptasi fisiologi, semacam “escape” dari lingkungan yang terendam (Voesenek et al. 2003), mengurangi kekurangan oksigen dengan membentuk sistem aerasi internal yang efektif (anoxia tolerance) (Gibbs and Greenway, 2003), memiliki kemampuan untuk menghindar atau memperbaiki kerusakan akibat oksidasi selama “re-aeration” (Blokhina et al., 2003).
Mekanisme tanaman menghindari defesiensi oksigen adalah dengan mengatur pola ekpresi gen yang meningkatkan toleransi terhadap kondisi anaerob. Melalui jalur signal transduksi gen kelas I haemoglobin (Hb) yang merupakan gen yang teriinduksi akibat terjadinya kekurangan oksigen. Igamberdiev et al. (2005) melaporkan adanya interaksi haemoglobin dengan nitrit oxidase (NO), yang merupakan gas yang dihasilkan dari nitrat, hal ini ditemukan dalam jumlah yang banyak dalam sel yang kekurangan oksigen. Interaksi heamoglobin dengan NO ditambah dengan adanya etilen dapat menghasilkan energy dengan tanpa oksigen (anerob), akan tetapi hal ini dapat pula mengakibatkan turunnya pH yang ada disitoplasma yang dapat mengakibatkan terganggunya proses biokimia dan mengakibatkan kemungkinan yang fatal bagi sel. Felle (2005) melaporkan ada mekanisme spesies yang dapat melakukan pengaturan sumber proton yang bertanggungjawab terhadap pengasaman, dan pengaturan pH dapat memperpanjang hidup sel ketika terjadi defesiensi oksigen (anoxsia).
Pengaruh status nitrisi nitrogen dan fosfat awal terhadap respon ketahanan tanaman padi terhadap rendaman diteliti oleh Ella dan Ismail (2006). Mereka melaporkan bahwa kemampuan hidup beberapa genotipe padi tidak berkorelasi dengan status N awal pada daun, tetapi berkorelasi positif dengan status konsentrasi pati dan nisbah akar-pupus, serta kandungan klorofil yang tinggi sebelum diberi perlakuan rendaman. Dengan demikian budidaya tanaman yang baik tanpa terlalu memberikan N yang tinggi sebelum terjadi rendaman dapat meningkatkan kemmpuan hidup tanaman padi.


Genetika
Analisis pola ekpresi gen yang mengkarakteristik sel yang mengalami defesiensi oksigen dan mekanisme pengaturannya banyak diteliti oleh ahli genetik. Branco-Price et al. (2005) menganalisis genom A. thaliana yang diberi perlakuan kekurangan oksigen selama 12 jam, kemudian mengamati pola ekpresi, kecepatan translasi oleh protein dan level komplesitas polysome. Hasil penelitian mereka menunjukan rendahnya level nukleotida GC, yang berarti ada beberapa pasangan nukletioda pada mRNA yang tidak tertranslasi sehingga translasi lebuh cepat pada saat sel kekurangan oksigen. Produk protein hasil translasi kemungkinan sangat penting terutama untuk mempertahankan hidup dalam jangka pendek, dari kekurangan oksigen.
Gonzali et al (2005) menggunakan microarrays dan metode bioinformasi untuk menganalisis pola umum kecambah A.thaliana yang diperlakukan 6 jam tanpa oksigen (<10 ppm). Mereka meneliti bagaimana ekpresi dari 20.000 gen A. thaliana yang dianalisis oleh software. Hasil penelitian menunujukan 1600 gen terpengaruh oleh perlakuan 6 jam tanpa oksigen, dari sejumlah itu hanya sebagian kecil gen yang berhubungan dengan jalur fermentasi sukrosa. Mohanty et al. (2005) melaporkan beberapa untaian DNA dekat dengan promoter yang dapat menginduksi gen untuk berekpresi pada keadaan lingkungan anerob, untaian DNA ini merupakan tempat pengkatan faktor transkripsi. Faktor transkripsi adalah faktor protein yang memberikan signak kepada promoter untuk memulai proses transkripsi DNA.
Harada et al (2005) melakukan studi pada tanaman Potamogeton distinctus mengalami pemanjangan batang lebih cepat ketika keadaan suplai oksigen dihentikan dibandingkan dengan keadaan normal. Stimulasi anaerobik ini berhubungan erat dengan meningkatnya enzim sucrose synthase (SuSy), enzim yang berhubungan dengan degerasi sukrosa menjadi heksosa, senyawa yang lebih mudah terfermentasi. Pada peneletian yang lain Ookawara et al. (2005) meneliti pemanjangan batang yang disebabkan kekurangan oksigen pada tanaman Sagittaria pygmaea adanya enzim yang merenggangkan dinding sel berkaitan erat dengan akumulasi mRNA yang mengkode dua dari empat gen endotranglucosylase/hydrolase yang mengatur pemanjangan batang saat terjadi anoxia.
Penelitian yang lainnya dilakukan oleh Huang et al. (2005) yang melaporkan padi yang toleran anoxia mensintesis protein pyruvate orthophosphate dikinase (PPDK) yang mempunyai peran membentuk pyrophosphate (inorganic diphosphate, P2O74–) dari ATP. Pyrophospate mempunyai peran sebagai penganti ATP yang diperlukan pada proses glycolisis dan di dalam tonoplas untuk melakukan transpor proton. Mustroph et al. (2005) menggunakan kentang transgenik yang yang disisipi gen pyrophosphate. Tanaman transgenik memiliki kemampuan lebih toleran pada kondisi kurang oksigen disekitar akar dibandingan dengan tanaman nontransgenik, karena berhasil membentuk “upstream” heksosa. Kedua makalah ini mendukung pernyataan bahwa pyrophosphate memberikan toleransi metabolisme pada tanaman yang tercekaman kekurangan oksigen karena rendaman atau banjir.
Glykolisis yang kemudian dilanjutkan fermentasi alkohol merupakan rangkaian proses penghasil utama ATP ketika tanaman mengalami cekaman kekurangan oksigen, para peneliti tertaring terhadap bagaimana produk tersebut dihasilkan. Boamfa et al. (2005) menggunakan laser-photoacoustic untuk menetukan level output dari acetaldehyde dan etanol, senyawa yang dihasilkan dari rangkaian glykolisis dan fermentasi. Adanya perbedaan level toleransi pada tanaman padi yang terendaman bukan disebabkan karena perbedaan kecepatan melakukan fermentasi, melainkan disebabkan oleh kecepatan mengkonversi balik etanol menjadi acethaldehyde. Semakin cepat etanol dikonversi menjadi acethaldehyde kembali akan mengurangi kerusakan sel akibat adanya senyawa racun superoksida. Jalur detoksifikasi ini berjalan lebih cepat pada genotipe tanaman padi yang toleran rendaman dibanding dengan genotipe yang peka.
Mekanisme lain toleransi genotipe padi terhadap rendaman adalah adanya kemampuan beberapa genotipe padi yang memiliki gen ethelene response factor like protein (ERF). Gen ini telah dipetakan dengan menggunakan quantitative trait loci (QTL) pada varietas tahan FR13A terletak pada kromoso nomor 9 (Xu et al. 2004). Ada tiga lokus posisi gen ini yaitu Sub1A, Sub1B dan Sub1C (Toojindan et al 2003). Gen tersebut telah ditransfer pada varietas KDML 105 yang peka melalui prosedur backcross (Siangliw et al. 2003).

Penyebab Biotik Gangguan Fisiologi pada Tanaman
1. Patogen; kelompok makhluk hidup yang menyebabkan penyakit, seperti:
o Bakteri; menghasilkan toksin yang dapat meracuni tanaman.
o Virus; melalui RNA yang bersifat toksin, RNA akan masuk ke dalam DNA tanaman dan mengambil alih peran DNA tersebut. RNA virus terus mengkopi dirinya sehingga kemudian sel tanaman menjadi lysis dan mati.
o Cendawan; perkembangbiakannya cepat dengan spora dan filamen, merugikan karena mengambil fotosintat dari tanaman.
o Mikoplasma Like Organism (MLO)
o Nematoda; umumnya berada di dalam tanah, menyerang akar sehingga membusuk sehingga mengganggu peredaran unsur hara dan air.
2. Hama; mengganggu tanaman awalnya berupa serangan fisik misal dengan menusuk, menggigit, mengerat, dan sebagainya dan dapat mengeluarkan zat racun (bersifat roksitogenik) ke dalam sel tanaman.
3. Gulma; tumbuhan yang tumbuh di antara kelompok tanaman tertentu yang tidak diinginkan keberadaannya (tumbuh tidak pada tempat yang seharusnya), berkompetisi dengan tanaman dalam memperebutkan unsur hara dan air, cahaya matahari dan input fotosintesis lainnya, serta mempersempit ruang tumbuh tanaman.
4. Mamalia; merusak tanaman secara fisik, misal menggigit, menginjak, dsb. Contohnya domba, babi, dll.
5. Tumbuhan parasit; tumbuhan yang tumbuh menempel pada tanaman dan hidup dengan cara mengambil hasil fotosintat tanaman inang, bersifat heterotrof, contohnya benalu, tali putri, dll. Daya penetrasi hanya sampai pada bagian luar kambium (menyemtuh floem) sehingga tidak mengambil unsur hara tanaman.
Pertimbangan-Pertimbangan Utama dalam Pemuliaan untuk Ketahanan Terhadap Cekaman Biotik
Pertimbangan mencakup nilai ekonomi tanaman, luasnya pertanaman, dan kekerapan terjadinya epidemik.
• untuk komoditas dengan nilai ekonomi kecil tetapi terkait dengan hajat hidup orang banyak maka lebih baik dikembanghkan kultivar dengan ketahanan umum
• jika ada gejala nilai ekonomi anjlok, jadi perlu bebas gejala, maka lebih utama digunakan ketahanan khusus
• bila patogen/hama menyerang bagian bukan yang dipanen maka lebih digunakan ketahanan umum
• bila patogen/hama memiliki plastisitas genetik yang tinggi (misalnya wereng pada padi dan hawar fitoptora pada kentang) maka lebih utama digunakan ketahanan umum
• harus diperhatikan bahwa mekanisme ketahanan tidak membahayakan manusia
contoh: upaya peningkatan fenolik pada kentang maka tahan parasit tetapi dapat membahayakan manusia
• kini dikembangkan ‘efek tritrofik’ pada hama, yaitu tanaman dimuliakan agar punya sifat yang mengundang musuh alami hama, misalnya tanaman dengan struktur atau morfologi atau warna atau aroma/bau tertentu
Sumber-Sumber Ketahanan
Sumber ketahanan :
• konvensional: sumber ketahanan dari tanaman ? lebih diutamakan digunakan
• non-konvensional: sumber ketahanan bukan dari tanaman ? peluang memperluas sumber ketahanan
Kaitan sumber ketahanan dengan metode pemuliaan:
• bila sumber ketahanannya konvensional maka metode pemuliaan lazimnya konvensional, kadang diperlukan pendekatan bioteknologi terutama bila sumebr ketahanan dari kerabat jauh
• bila sumbert ketahanannya non-konvensional maka pendekatannya melalui bioteknologi (rekayasa genetika)
Beberapa penyebab:
1. perbedaan laju pertumbuhan: yang cepat dewasa cenderung lebih banyak mengandung patogen dibanding yang lambat ? yang lambat dewasa over estimate resistensinya; atau sebaliknya. Oleh karena itu lebih baik dicatat jumlah infeksi pada tiap stadia pertumbuhan tanaman
2. interferensi interplot. Pada pemuliaan, plot cenderung kecil dan berdampingan sehingga perlu hati-hati dalam menetapkan tingkat ketahanan; berpengaruh terutama yang memencar antar tanaman yang bertetangga tetapi kurang berpengaruh bila pemencaran patogen vertikal mll percikan hujan.
3. jumlah inokulum. Bila inokulum terlaku sedikit maka dapat over estimated karena escape atau level infeksinya rendah. Bila inokulum terlalu banyak maka akan sukar lihat ketahanan umum, tetapi tidak masalah untuk ketahanan khusus
4. saat menilai, kaitannya dengan umur tanaman
5. faktor lingkungan


Seleksi
• bila mayor gen, monogenik maka seleksi dapat dilakukan pada populasi F2
• untuk tanaman menyerbuk sendiri: back cross pada persilangan yang melibatkan kerabat liar untuk mengurangi/menghilangkan gen-gen yang tidak dikehendaki
• untuk tanaman menyerbuk silang: tingkatkan frekuensi alel dikehendaki, dalam hal ini seleksi daur ulang paling efektif
• seleksi terhadap gen mayor beresiko tekanan seleksi yang kuat terhadap patogen, sehingga patogen mudah termutasi atau strain minor cepat berkembang sehingga ketahanan mudah patah, maka disarankan mengembangkan ketahanan umum yang berbasis gen-gen minor pogenik
Strategi untuk Meningkatkan/Memperbaiki Ketahanan
1. Membentuk multiline berbasis ketahanan khusus, kesulitannya: (i) lama untuk buat back-cross dari ‘near isogenic line’ dan (ii) mudah-sukarnya ras patogen kompleks berkembang
2. Diversifikasi kultivar: yaitu dengan menanam dua atau lebih kultivar pada lahan yang sama sehingga patogen dicegah berkembang pesat
3. Gen duplikat: kultivar dengan dua atau lebih gen mayor (‘pyramide resistance’)
4. Pengendalian terpadu
5. Kondisi yang menunjang berhasilnya strategi pemuliaan, seperti pemulia dan institusi pemuliaan ada dekat dengan tempat parasit menimbulkan masalah, hal ini akan sukar bila lampaui batas wilayah negara/politik

Perakitan Kultivar Adaptif Lingkungan Bercekaman Abiotik
Yang dimaksud dengan komponen abiotik dari lingkungan adalah iklim dan tanah yang bekerja sendiri atau berinteraksi dalam membatasi pertumbuhan dan penyebaran tanaman. Respon tanaman terhadap salah satu komponen dalam hal ini tidak bebas dari pengaruh komponen lainnya.

KESIMPULAN
 TANAMAN/ TUMBUHAN AKAN MERESPON DAN PEKA TERHADAP LINGKUNGAN BIOTIK DAN ABIOTIK.
 TANAMAN DALAM PERTUMBUHANNYA DIPENGARUHI OLEH LINGKUNGAN
 LINGKUNGAN BIOTIK DAN ABIOTIK DAPAT MEMPENGARUHI TANAMAN SECARA MORFOLOGIS, FISIOLOGIS DAN GENETIS.
Categories:

0 komentar:

Posting Komentar